Saya menyebutnya trilogi keseimbangan ibadah, karena ketiganya harus senantiasa bersatu. Kurang sempurna bila beramal hanya bermodalkan iman saja tanpa ilmu. Kaburo maqtan ‘indallah (Allah marahbanget) bila beriman dan berilmu tapi tanpa amal; dan akan percuma bila berilmu dan beramal tapi tanpa iman.
Simak ilustrasi berikut,
Ada seorang anak muda baru lulus kuliah, diterima bekerja di sebuah bank swasta nasional. Ini anak sejak kuliah sudah rajin shalat tepat waktu, dhuha nggak pernah ketinggalan, baca Qur’an dan bangun malem jadi kebiasaan sehari-harinya.
Di tempat kerjanya, ia adalah type anak muda yangworkaholic (gila kerja). Kalau sudah kerja, serius banget, ampe-ampe lupa yang lain. Pokoknya mah target tercapai, prestasi bagus, atasan seneng. Pergi pagi, pulang sore, kadang malam di rumah masih ngerjain ini itu juga buat kantornya. Subhanallah… di usianya yang relatif muda dan masa kerja yang seumur jagung, karirnya melesat dengan cepat. Melampaui karir para seniornya, bak pembalap MotoGP Valentino Rossi, pembalap kelahiran Urbino Italia, 16 Februari 1979 yang menjuluki dirinya The Doctor. Wah pokoknya manteb dah.
Dengan gagahnya, ia ambil kredit rumah dan mobil sebelum menikah — yang seharusnya lebih ia prioritaskan.
Perubahan life style ternyata mempengaruhi ibadah stylenya. Shalat lima waktu yang dulu selalu on time,kini berubah jadi in time. Masih inget shalat saja dah mending istilahnya mah. Boro-boro ngerjain dhuha tiap hari, seminggu sekali dua raka’at saja udah syukur. Baca Qur’an dan bangun malem hanya dilakoni pas ketemu Ramadhan saja. He he he masih mendingan sih.
Hingga suatu saat datanglah teguran dari Allah.
Bank tempat ia bekerja harus dilikuidasi sebagai imbas krisis moneter. Diapun akhirnya terpaksa harus dirumahkan. Stress, bingung, mau teriak… malu ama tetangga, mau menyalahkan bingung siapa yang harus disalahkan. Akhirnya ia kembali menjadi cicak musholla.
Di sana ia baru tersadarkan bahwa karunia yang ia terima selama ini sebagai hadiah karena kedekatannya dengan Allah semasa ia kuliah dan do’a orangtuanya.
Ia tersadarkan saat ada ustadz yang mengajarkan Tafsir Al-Alusy dalam taklimnya bahwa Allah akan memberikan kehidupan yang baik berupa rasa qona’ah terhadap anugerah rizki dan segala kebaikan yang disajikan Allah di dunia dan keselamatan di akhirat bagi siapa saja hamba-Nya yang beriman dan beramal shaleh sebagaimana Allah jelaskan di Qur’an Surat An-Nahl [16] ayat 97:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
(Q.S. An-Nahl [16]: 97)
Andai ia tahu dari dulu, andai ia punya ilmu dari dulu bahwa ibadahnya sangat mempengaruhi kehidupannya, pastilah ia akan terus istiqomah dalam beribadah, tidak malah semakin jauh dari Allah. Semakin malas mengerjakan ibadah-ibadah sunnah yang sangatlah berpengaruh bagi hidup dan kehidupannya.
Itulah gambaran orang beramal tanpa ilmu dan keyakinan penuh kepada Allah, bahwa Allah-lah yang memberinya rizki, Allah-lah yang sudah menjadikan ia sejahtera, Allah-lah yang telah menjadikannya begini dan begitu. Dialah yang Maha segalanya.
Ada juga contoh orang yang kurang ilmunya dalam beribadah.
Syahdan, seorang hamba berdo’a agar dikasih rezeki yang banyak. Sekian tahun dia berharap akan terkabulnya doa tersebut, yang ada bukan hartanya yang bertambah tapi malah anak tiap taon lahir satu-satu nggak terasa eh ternyata sudah setengah lusin… he he he.
Kalaulah dia tidak punya ilmunya, maka yang terjadi adalah ia enggak mau bersyukur sama Allah. Yang ada malah protes, “Saya mintanya rizki berupa uang kok malah dikasih anak.’’
Dia nggak sadar bahwa Allah punya rencana, siapa tahu di antara anaknya yang enam itu yang kemudian mengangkat derajatnya menjadi orang kaya dan mulia dalam pandangan Allah maupun manusia.
Ada yang malah kebalikannya, berdo’a minta rizki berupa anak, sama Allah malah dikasih karir yang melesat dengan cepat, bisnis makin maju, punya ini dan itu, tapi anak yang dinanti tiada kunjung hadir. Kalaulah dia nggak tahu ilmunya maka yang terjadi dia akan kufur dan enggan lagi meminta bahkankapok alias jera, enggak mau lagi berdoa. Padahal Allah berencana yang terbaik buat dia. Boleh jadi setelah punya ini dan itu dan segalanya sudah siap dia baru dianugerahi anak keturunan. Sebagaimana penjelasan dan motivasi Rasulullah SAW tentang do’a, dari Abi Sa’id, diriwayatkan Imam Ahmad dan Imam Al Hakim, bahwa selama do’a kita tidak berbalut dosa dan pemutusan silaturrahim, pastilah akan dijawab Allah.
Cuma, kitanya yang harus belajar dan makin banyakin lagi do’anya tambah keyakinannya lagi, karena ketahuilah Allah SWT menjawab dengan tiga cara
“ إمَّا أَنْ يُعَجِّلَ لَهُ دَعْوَتَهُ ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنْ السُّوءِ مِثْلَهَا “
“Dipercepat pengabulan do’anya, disimpan buat si pendo’a di akhirat kelak, diganti dengan di-delete-nya keburukan yang seimbang dengan do’anya”
Saya menyebut tiga type pengabulan do’a sebagai berikut:
Do’a yang dipercepat, yaitu do’a yang langsung dikabulkan, cespleng, minta A di kasih A, minta B dikasih B dan seterusnya.Do’a yang ditunda, yaitu dikabulkan tapi tidak hari ini tapi, mungkin esok’ lusa, minggu depan, bulan depan, tahun depan. Atau bahkan nanti di akhirat di saat tidak ada lagi perlindungan selain perlindungan-Nya, maka datanglah segerombol pahala do’anya yang terpanjatkan di dunia.Do’a yang dikonversi, sebagaimana contoh di atas, minta uang dikasih anak, minta anak dikasih harta.
Jadi, biar kita terus husnuzhzhon sama Allah, biar tambah paham akan hikmah di balik setiap pahit manisnya kehidupan, terus yakin sama Allah, terus istiqomah dalam beribadah, maka ada baiknya, iring teruuuus dengan banyak belajar, banyak membaca, banyak hadir di majelis-majelis ilmu dan lain sebagainya.
Saya mah yakin betul sebagaimana Ustadz Yusuf Mansur meyakininya, tentang perbedaan derajat antara orang yang beramal dengan ilmu dengan yang tanpa ilmu, sebab memang amalannya beda. Seseorang yang berilmu, akan beramal dengan ilmunya itu. Sehingga ada keyakinan dan harapan. Bukankah keyakinan dan harapan juga adalah sebuah kelezatan ibadah tersendiri?
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
….Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat….
(Al Mujaadilah : 11)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar